I.PENDAHULUAN
Kebiasaan pemerintah kita dalam melakukan justifikasi kepentingan program-progran dibidang pendidikan adalah berdasar pada pemikiran jangka menengah yang mengaitkannya dengan legalitas kemapanan. Akibatnya tujuan pendidikan selalu dirumuskan dalam "bahasa tamsil" yang sangat utopis dan kurang menggambarkan rumusan-rumusan permasalahan dan “prioritas” yang ingin dicapai dalam jangka waktu tertentu
II.PEMBAHASAN
A. ARUS GLOBAL PRA-1972
Periode ini menandai daya tanggap dan cikal bakal bangkitnya kesadaran lingkungan Indonesia menyongsong konferensi Lingkungan Hidup Sedunia I di Stockholm, Swedia pada bulan Juni 1972, ketika pembangunan nasional memasuki Pelita Pertama (1969-1974), Indonesia belum mengenal lembaga khusus yang menangani masalah lingkungan hidup. Dengan demikian perhatian terhadap masalah mulai nampak sebagaimana terlihat pada peraturan perundangan yang disusun beserta kebijaksanaan dan program sektoral yang dihasilkan selama periode tersebut.
.Pasca Reformasi tahun 1998, memang ada perubahan fundamental dalam sistem pendidikan nasional. Perubahan sistem pendidikan tersebut mengikuti perubahan sistem pemerintah yang sentralistik menuju desentralistik atau yang lebih dikenal dengan otonomi pendidikan dan kebijakan otonomi nasional itu mempengaruhi sistem pendidikan kita.
Otonomi yang didasarkan pada UU No. 22 tahun 1999, yaitu memutuskan suatu keputusan dan atau kebijakan secara mandiri. Otonomi sangat erat kaitanya dengan desentralisasi. Dengan dasar ini, maka otonomi yang ideal dapat tumbuh dalam suasana bebas, demokratis, rasional dan sudah barang tentu dalam kalangan insan-insan yang “berkualitas”.
B. Pengalaman Pendidikan Pasca Reformasi
Pada saat reformasi digulirkan, masyarakat Indonesia ingin mewujudkan perubahan dalam semua aspek kehidupannya, termasuk sektor pendidikan [H.A.R. Tilaar, 1998:25]. Sebab, sektor pendidikan memiliki peran yang strategis dan fungsional dalam upaya mewujudkan perubahan tersebut. Tetapi, kata Tilaar, pendidikan di Indonesia selama ini diatur dengan sistem pendidikan nasional yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan politik bangsa. Akibatnya, menghasilkan manusia-manusia Indonesia tertekan, tidak kritis, bertindak dan berpikir dalam acuan suatu struktur kekuasaan yang hanya mengabdi kepada kepentingan kelompok kecil rakyat Indonesia [Tilaar, 1998:4. Baca Hujair AH. Sanaky, 2003:3].
Pendidikan nasional juga diselenggarakan secara diskriminasi, jauh dari apa yang diidealkan, yaitu setiap warga negara memperoleh kesempatan yang sama untuk belajar dan menyelenggarakan usaha-usaha pendidikan. Dalam kenyataannya pelaksanaan pendidikan kita tidak demokratis, masih terdapat sekolah-sekolah atau perguruan negeri yang dikelola dan dibiayai pemerintah, dan sekolah-sekolah atau perguruan-perguruan
Rumusan-rumusan permasalahan dan prioritas pendidikan yang akan dicapai. Akibatnya :
1. Muncul berbagai masalah dalam dunia pendidikan kita yang belum teratasi. Permasalahan tersebut antara lain kinerja yang tidak pas dengan tujuan umum pendidikan nasional, produk pendidikan yang belum siap pakai, atau tidak sesuai dengan ketersediaan lapangan kerja, rangking pendidikan kita di mata dunia yang setara dengan negara-negara miskin atau baru merdeka
2. Sistem pendidikan kita terlihat masih bersifat tambal sulam, mulai dari kebijakan kurikulum, manajemen, sistem pembelajaran, tuntutan kualitas guru, tuntutan fasilitas dan dana pendidikan, kurang memliki “prioritas” yang ingin dicapai.
3. Sementara secara umum, pendidikan seringkali dipandang sebagai investasi modal jangka panjang yang harus mampu membekali “pembelajar” untuk menghadapi kehidupan masa depannya. Pendidikan harus mampu mencerahkan “pembelajar” dari ketidak tahuan menjadi tahu dan memberdayakan.
C. Perubahan Paradigma Pendidikan Pasca Reformasi
Pada era reformasi, masyarakat Indonesia menginginkan perubahan dalam semua aspek kehidupan bangsa dalam pendidikan
pendidikan nasional tidak dapat berperan sebagai penggerak dan “loko” pembangunan, bahkan Gass [1984] lewat tulisannya berjudul education versus Qualifications menyatakan pendidikan telah menjadi penghambat pembangunan ekonomi dan teknologi, dengan munculnya berbagai kesenjangan: cultural, sosial, dan khususnya kesenjangan vokasional dalam bentuk melimpahnya pengangguran terdidik
Paradigma tersebut harus berimplikasi pada perubahan perspektif dalam pembangunan pendidikan, mulai dari perspektif yang menganggap pendidikan sebagai sector pelayanan umum ke perspektif pendidikan sebagai suatu investasi produk yang mampu mendorong pertumbuhan masyarakat di berbagai bidang kehidupan. Dari pandangan ini, kita tidak heran, jika sering disinyalir bahwa pendidikan sebagai faktor yang dipengaruhi oleh berbagai permasalahan yang terjadi dalam lingkungan kehidupan. Maka pendidikan sering menerima akibat buruk dari berbagai perubahan yang terjadi.
Paradigma pendidikan dalam pembangunan yang diikuti para penentu kebijakan [pemerintah] kita dewasa ini memiliki kelemahan, baik teoritis maupun metodologis. Dalam hal ini, tidak dapat diketemukan secara tepat dan pasti bagaimana proses pendidikan menyumbang pada peningkatan kemampuan individu. Hal ini, memang secara mudah dapat dikatakan bahwa pendidikan formal kita akan mampu mengembangkan kemampuan yang diperlukan untuk memasuki sistem dunia kerja yang semakin kompleks. Tetapi, mungkin saja pendidikan kita tidak mempu menjawab tantangan tersebut, sebab pada kenyataannya, kemampuan [kompetensi] yang diterima dari lembaga pendidikan formal tidak sesuai dengan kebutuhan yang ada.
Dari pemikiran di atas, maka pengambil kebijakan pendidikan perlu memperhatikan berbagai persoalan yang sedang akan dihadapi bangsa ini. Langkah-langkah untuk melakukan rekonstruksi pendidikan dalam rangka membangun paradigma baru sistem pendidikan nasional pasca reformasi, meliputi :
Pertama, pendidikan nasional hendaknya memiliki visi yang berorientasi pada demokratisasi bangsa, sehingga memungkinkan terjadinya proses pemberdayaan seluruh komponen masyarakat secara demokratis.
Kedua, pendidikan nasional hendaknya memiliki misi agar tercipta partisipasi masyarakat secara menyeluruh. Dengan demikian, secara mayoritas seluruh komponen bangsa ada dalam masyarakat menjadi terdidik.
Ketiga, substansi pendidikan dasar hendaknya mengacu pada pengembangan potensi dan kreativitas “pembelajar” dalam totalitasnya yang seimbang dan serasi.. Pendidikan menengah dan tinggi hendaknya diarahkan pada membuka kemungkinan pengembangan individu [kepribadian] secara vertical dan horizontal.
Keempat, pendidikan dasar dan menengah perlu mengembangkan sistem pembelajaran yang egaliter dan
Kelima, pendidikan tinggi, jangan hanya berorientasi pada penyiapan tenaga kerja. Pendidikan tinggi, harus mempersiapkan dan memperkuat kemampuan dasar
DAFTAR PUSTAKA
Cahyana, Ade, Indonesia 2010: Merubah Mitos menjadi Realitas Pembangunan,
Kelompok Kerja Pengkajian dan Perumusan, Rangkuman Filosofi, Kebijaksanaan dan Strategi Pendidikan Nasional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1999, Jakarta
Ace Suryadi
http://www.kompas.com
http://202.159.18.43
http: //www. depdiknas. go. id
Kebiasaan pemerintah kita dalam melakukan justifikasi kepentingan program-progran dibidang pendidikan adalah berdasar pada pemikiran jangka menengah yang mengaitkannya dengan legalitas kemapanan. Akibatnya tujuan pendidikan selalu dirumuskan dalam "bahasa tamsil" yang sangat utopis dan kurang menggambarkan rumusan-rumusan permasalahan dan “prioritas” yang ingin dicapai dalam jangka waktu tertentu
II.PEMBAHASAN
A. ARUS GLOBAL PRA-1972
Periode ini menandai daya tanggap dan cikal bakal bangkitnya kesadaran lingkungan Indonesia menyongsong konferensi Lingkungan Hidup Sedunia I di Stockholm, Swedia pada bulan Juni 1972, ketika pembangunan nasional memasuki Pelita Pertama (1969-1974), Indonesia belum mengenal lembaga khusus yang menangani masalah lingkungan hidup. Dengan demikian perhatian terhadap masalah mulai nampak sebagaimana terlihat pada peraturan perundangan yang disusun beserta kebijaksanaan dan program sektoral yang dihasilkan selama periode tersebut.
.Pasca Reformasi tahun 1998, memang ada perubahan fundamental dalam sistem pendidikan nasional. Perubahan sistem pendidikan tersebut mengikuti perubahan sistem pemerintah yang sentralistik menuju desentralistik atau yang lebih dikenal dengan otonomi pendidikan dan kebijakan otonomi nasional itu mempengaruhi sistem pendidikan kita.
Otonomi yang didasarkan pada UU No. 22 tahun 1999, yaitu memutuskan suatu keputusan dan atau kebijakan secara mandiri. Otonomi sangat erat kaitanya dengan desentralisasi. Dengan dasar ini, maka otonomi yang ideal dapat tumbuh dalam suasana bebas, demokratis, rasional dan sudah barang tentu dalam kalangan insan-insan yang “berkualitas”.
B. Pengalaman Pendidikan Pasca Reformasi
Pada saat reformasi digulirkan, masyarakat Indonesia ingin mewujudkan perubahan dalam semua aspek kehidupannya, termasuk sektor pendidikan [H.A.R. Tilaar, 1998:25]. Sebab, sektor pendidikan memiliki peran yang strategis dan fungsional dalam upaya mewujudkan perubahan tersebut. Tetapi, kata Tilaar, pendidikan di Indonesia selama ini diatur dengan sistem pendidikan nasional yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan politik bangsa. Akibatnya, menghasilkan manusia-manusia Indonesia tertekan, tidak kritis, bertindak dan berpikir dalam acuan suatu struktur kekuasaan yang hanya mengabdi kepada kepentingan kelompok kecil rakyat Indonesia [Tilaar, 1998:4. Baca Hujair AH. Sanaky, 2003:3].
Pendidikan nasional juga diselenggarakan secara diskriminasi, jauh dari apa yang diidealkan, yaitu setiap warga negara memperoleh kesempatan yang sama untuk belajar dan menyelenggarakan usaha-usaha pendidikan. Dalam kenyataannya pelaksanaan pendidikan kita tidak demokratis, masih terdapat sekolah-sekolah atau perguruan negeri yang dikelola dan dibiayai pemerintah, dan sekolah-sekolah atau perguruan-perguruan
Rumusan-rumusan permasalahan dan prioritas pendidikan yang akan dicapai. Akibatnya :
1. Muncul berbagai masalah dalam dunia pendidikan kita yang belum teratasi. Permasalahan tersebut antara lain kinerja yang tidak pas dengan tujuan umum pendidikan nasional, produk pendidikan yang belum siap pakai, atau tidak sesuai dengan ketersediaan lapangan kerja, rangking pendidikan kita di mata dunia yang setara dengan negara-negara miskin atau baru merdeka
2. Sistem pendidikan kita terlihat masih bersifat tambal sulam, mulai dari kebijakan kurikulum, manajemen, sistem pembelajaran, tuntutan kualitas guru, tuntutan fasilitas dan dana pendidikan, kurang memliki “prioritas” yang ingin dicapai.
3. Sementara secara umum, pendidikan seringkali dipandang sebagai investasi modal jangka panjang yang harus mampu membekali “pembelajar” untuk menghadapi kehidupan masa depannya. Pendidikan harus mampu mencerahkan “pembelajar” dari ketidak tahuan menjadi tahu dan memberdayakan.
C. Perubahan Paradigma Pendidikan Pasca Reformasi
Pada era reformasi, masyarakat Indonesia menginginkan perubahan dalam semua aspek kehidupan bangsa dalam pendidikan
pendidikan nasional tidak dapat berperan sebagai penggerak dan “loko” pembangunan, bahkan Gass [1984] lewat tulisannya berjudul education versus Qualifications menyatakan pendidikan telah menjadi penghambat pembangunan ekonomi dan teknologi, dengan munculnya berbagai kesenjangan: cultural, sosial, dan khususnya kesenjangan vokasional dalam bentuk melimpahnya pengangguran terdidik
Paradigma tersebut harus berimplikasi pada perubahan perspektif dalam pembangunan pendidikan, mulai dari perspektif yang menganggap pendidikan sebagai sector pelayanan umum ke perspektif pendidikan sebagai suatu investasi produk yang mampu mendorong pertumbuhan masyarakat di berbagai bidang kehidupan. Dari pandangan ini, kita tidak heran, jika sering disinyalir bahwa pendidikan sebagai faktor yang dipengaruhi oleh berbagai permasalahan yang terjadi dalam lingkungan kehidupan. Maka pendidikan sering menerima akibat buruk dari berbagai perubahan yang terjadi.
Paradigma pendidikan dalam pembangunan yang diikuti para penentu kebijakan [pemerintah] kita dewasa ini memiliki kelemahan, baik teoritis maupun metodologis. Dalam hal ini, tidak dapat diketemukan secara tepat dan pasti bagaimana proses pendidikan menyumbang pada peningkatan kemampuan individu. Hal ini, memang secara mudah dapat dikatakan bahwa pendidikan formal kita akan mampu mengembangkan kemampuan yang diperlukan untuk memasuki sistem dunia kerja yang semakin kompleks. Tetapi, mungkin saja pendidikan kita tidak mempu menjawab tantangan tersebut, sebab pada kenyataannya, kemampuan [kompetensi] yang diterima dari lembaga pendidikan formal tidak sesuai dengan kebutuhan yang ada.
Dari pemikiran di atas, maka pengambil kebijakan pendidikan perlu memperhatikan berbagai persoalan yang sedang akan dihadapi bangsa ini. Langkah-langkah untuk melakukan rekonstruksi pendidikan dalam rangka membangun paradigma baru sistem pendidikan nasional pasca reformasi, meliputi :
Pertama, pendidikan nasional hendaknya memiliki visi yang berorientasi pada demokratisasi bangsa, sehingga memungkinkan terjadinya proses pemberdayaan seluruh komponen masyarakat secara demokratis.
Kedua, pendidikan nasional hendaknya memiliki misi agar tercipta partisipasi masyarakat secara menyeluruh. Dengan demikian, secara mayoritas seluruh komponen bangsa ada dalam masyarakat menjadi terdidik.
Ketiga, substansi pendidikan dasar hendaknya mengacu pada pengembangan potensi dan kreativitas “pembelajar” dalam totalitasnya yang seimbang dan serasi.. Pendidikan menengah dan tinggi hendaknya diarahkan pada membuka kemungkinan pengembangan individu [kepribadian] secara vertical dan horizontal.
Keempat, pendidikan dasar dan menengah perlu mengembangkan sistem pembelajaran yang egaliter dan
Kelima, pendidikan tinggi, jangan hanya berorientasi pada penyiapan tenaga kerja. Pendidikan tinggi, harus mempersiapkan dan memperkuat kemampuan dasar
DAFTAR PUSTAKA
Cahyana, Ade, Indonesia 2010: Merubah Mitos menjadi Realitas Pembangunan,
Kelompok Kerja Pengkajian dan Perumusan, Rangkuman Filosofi, Kebijaksanaan dan Strategi Pendidikan Nasional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1999, Jakarta
Ace Suryadi
http://www.kompas.com
http://202.159.18.43
http: //www. depdiknas. go. id
0 komentar:
Posting Komentar